Sejarah Pundong Berasal Dari Kretek

BNU - Sejak zaman kolonial, Pundong dijadikan daerah perkembangan dibidang pertanian. Pada akhir abad 18, Belanda membuat pabrik gula yang diberi nama Pabik Gula Pundong.

Beberapa fasilitas pendukung dibuat, seperti jalur rel kereta api, terminal, dan stasiun. Dahulu, Pundong merupakan daerah pemberhentian terakhir jalur rel yang ada di kawasan Bantul karang (sekarang Kabupaten Bantul).

Rumah Belanda juga banyak di buat pada abad itu seperti di kawasan pinggir pabrik gula (sekarang SMA N 1 Pundong), kawasan perempatan pundong (sekarang KUD Tani Rejo) dan timur Pasar Pundong yang berupa gudang garam (Sekarang menjadi rumah pribadi). Abad 19 pabrik gula milik Belanda bangkrut.

Akhirnya seluruh fasilitas tidak digunakan lagi. Pada zaman Jepang Rel kereta banyak yang di pindahkan ke Thailand untuk digunakan sebagai besi penopang jembatan. Akhir abad 19 pundong dilanda banjir besar akibat luapan sungai opak.

Akibatnya ribuan rumah terendam banjir dan rusak. Pada Saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX merencanakan pembuatan tanggul raksasa di pinggir sungai opak. Sejak tanggul selesai dikerjakan, kawasan pundong terbebas dari banjir. Setelah kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Ngayogyokarta melebur dengan NKRI.

Hal tersebut membuat kawasan tersebut harus dibagi menjadi kabupaten, kecamatan dan desa. Awalnya Kecamatan Pundong dan kretek menjadi kecamatan baru bernama Kecamatan Kretek, namun pada orde baru, daerah Pundong memisahkan diri dari Kecamatan Kretek dan membentuk Kecamatan Pundong.

Pada tahun 2006, tepatnya tanggal 27 Mei 2006. Yogyakarta dan sekitar diguncang gempa berkekuatan 6,2 sekala richter. Salah satu daerah terparah dilanda gempa adalah Pundong. Ribuan nyawa melayang serta hampir seluruh rumah di wilayah ini rusak berat dan rata dengan tanah. Hal ini akibat dari rapuhnya tanah di bawah Pundong serta berdekatan dengan sesar Opak.

Rehabilitasi pasca gempa membutuhkan waktu sampai 2 tahun. Tahun 2008, di bekas pabrik gula, didirikanlah Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat. Rumah sakit ini dikhususkan untuk korban gempa.

Asal Usul Kota Bantul


Berawal dari Legenda tentang Ki Ageng Mangir, yang berselisih dengan Panembahan Senopati, serta kuburannya yang terpisah, separuh di dalam separuh di luar kompleks makam sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta. Satu yang mungkin belum diketahui oleh masyarakat adalah, bahwa Desa Mangir adalah daerah perdikan, yang bebas dari campur tangan pihak yang berkuasa. Desa Mangir adalah sebuah desa yang terletak di pinggir pertemuan dua sungai, Progo dan Bedog, di sebelah utara barat kota Yogyakarta. Desa tersebut merupakan daerah tua yang pertama kali dipimpin oleh Raden Alembu Amisani, atau Raden Megatsari, atau Ki Ageng Mangir I, salah seorang putra Brawijaya yang ke-43 dari 117 bersaudara (Babad Tanah Jawi). Kemudian keturunan kedua bergelar Ki Ageng Mangir II, atau Ki Ageng Wanabaya I, sampai yang paling terkenal Ki Ageng Mangir IV, atau Ki Ageng Wanabaya III.

Sebagai daerah perdikan, tentu saja terdapat penolakan ketika tiba-tiba utusan dari suatu pihak yang berkuasa meminta untuk patuh dan tunduk. Sebagai pemimpin, Ki Ageng Wanabaya III mempunyai pendirian yang teguh. Ia juga mematuhi leluhurnya yang telah mewariskan daerah itu kepadanya. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya pengertian membangkang, sampai akhirnya Panembahan Senopati memperoleh cara untuk menaklukkannya, yaitu dengan menikahkan putrinya dengan Ki Ageng Wanabaya III.

Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL (Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, Komunitas Projotamansari Bantul, 2010) .

Jika dirunut lebih jauh lagi, Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir masih bersaudara. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela sampai Ki Ageng Pemanahan kemudian Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, merupakan keturunan Brawijaya ke-43.

Diceritakan juga bahwa Ki Ageng Wanabaya III merupakan tokoh yang sakti, maka tidak akan semudah itu Panembahan Senopati membunuhnya dengan cara membenturkan kepalanya ke tempat duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan juga muncul dari masyarakat Desa Mangir. Bahkan komunitas Projotamansari Bantul belum lama ini telah menerbitkan sebuah buku berjudul
 “Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul” dengan pengantar Pak Damardjati Supadjar, dosen UGM. Dalam buku tersebut banyak penyanggahan-penyanggahan terhadap tuduhan bahwa Ki Ageng Mangir merupakan pembangkang, dengan cerita-cerita yang menyertainya.

Kenapa cerita yang indah tersebut bisa menjadi sebuah cerita pembangkangan terhadap penguasa, tentu saja campur tangan dari pihak luar yang tidak menginginkan masyarakat Mataram-Mangir guyub, karena guyub adalah sikap yang sulit dikalahkan, dan masyarakat Jawa terkenal salah satunya karena ke-guyuban-nya.
Peta Kota Bantul

Sekaten:perayaan maulid Nabi khas Jawa

Apa sih Sekaten? mungkin sobat belum banyak yang mengerti tentang Sekaten.

Upacara Sekaten atau yang biasa disebut Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat yakni acara untuk memperingati hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (12 Rabiul Awal), acara ini biasa dilakukan di alun-alun Surakarta dan Yogyakarta yang masih terkenal dengan pemerintahan yang bersifat kraton. Dulunya Upacara ini dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono I yang bertujuan untuk mengundang rakyatnya agar memeluk agama Islam

Prosesi Upacara dilakukan selamat 7 hari berturut-turut
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

IKON Pantai nya Daerah Istimewa Yogyakarta

SUNSET Menawan di kota geplak selalu menjadi daya tarik tersendiri baik wisatawan domestik maupun manca negara. Pantai yg menjadi favorit wisatawan lokal maupun internasional ini memiliki banyak keindahan dan khas , seperti andong, bendi, dan pantai ini meliki lebar yg sangat luaas membentang.

Love Paris.. Love Bantul :)